Minggu, 06 November 2011

tulisan pertama IBD

a. Sistem Kepercayaan Orang Arso (Papua)

Dasar religi orang Arso adalah penghormatan pada roh-roh nenek moyang yang upacaranya dipusatkan pada pesta dansa, atau yages. Orientasi, konsep-konsep serta kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan kepada upacara terima kasih atas keselamatan dan minta pertolongan untuk mengatasi kegagalan-kegagalan dalam pelbagai segi kehidupan.

Konsep keagamaan orang Arso yang terpenting adalah sebutan terhadap Tuhan utamanya, yang mereka puji dan sembah, yaitu Chaimbo, dewa yang dianggap menciptakan dan memiliki langit, bumi dan segala isinya, termasuk manusia dan pada fowor, atau roh. Menurut hirarkinya, Tuhan membawahi tiga makhluk halus, yaitu fowor, atau manusia ruh, keti dan yonggoway. Chaimbo menjelma menjadi mata air, gunung, dan hutan, di samping menjaga agar hak kekuasaannya tidak bisa pindah kepada orang lain. Orang Arso paling takut akan yonggoway, karena roh itu bertugas untuk mencabut nyawa orang.

Sistem keyakinan orang Arso tercantum dalam mitologi mereka. Ada cerita-cerita tentang asal mula terjadinya alam binatang dan tumbuh-tumbuhan, di samping cerita suci tentang air bah besar seperti yang disebutkan dalam kitab Injil orang Kristen (Rombouts, 1957). Cerita-cerita suci lainnya tentang pasangan menusia yang pertama, yaitu seorang pria bernama Towyatuwa dan wanita pernama Ubosuwa, serta anak pria mereka Narowra, yang dapat disamakan dengan tokoh dewa pembawa adat dalam mitologi bangsa-bangsa lain. Narowra-lah yang mengajarkan orang Arso berkebun, mengambil sagu, berburu, mencari ikan, membuat berbagai kerajinan, serta menyanyi dan menari. Kedua bentuk kesenian tersebut amat penting dan malahan merupakan pusat dari hampir semua upacara religi dan adat. Serupa dalam mitologi bangsa-bangsa lain juga, dewa pembawa adat menjadi satu atau erat bekerjasama dengan tokoh dewa yang bersifat dualistik, artinya bersifat baik tapi juga merusak. Dalam mitologi orang Arso, tokoh itu adalah seekor buaya raksasa bernama Watuwa.

Masyarakat Arso mengenal tiga dewa tertinggi, karena itu aktivitas kehidupan mereka selalu dihubungkan dengan fungsi dari ketiga dewa itu dalam perwujudan konkret, berupa berbagai upacara dengan pesta tari-menari tertentu yang disesuaikan dengan adat kebiasaan keret masing-masing.

Tujuan upacara keagamaan orang Arso adalah (1) memintah kesejahteraan keluarga dan keret-keretnya, terutama yang berhubungan dengan aktivitas hidup mereka (2) mengucapkan rasa terima kasih kepada dewa-dewa karena kehidupan mereka baik; (3) minta agar mereka terhindar dari bahaya maut, kecelakaan, atau peperangan. Upacara adat worasyu adalah untuk menyatakan terima kasih kepada fowor, misalnya karena terjadi pengangkatan status sosial dan derajat wanita yang telah memelihara ternak babi, agar di tahun-tahun mendatang hasil peternakan babi mereka lebih banyak lagi. Di samping itu mereka memohon perlindungan dalam jabatannya agar mereka berwibawa dan agar pengaruhnya itu dapat mengimbangi kaum pria.

Bila dilihat dari arti katanya, maka worasyu berasal dari kata oras, yang artinya “induk dari papeda bungkus”, sedang yu berarti “menyanyi”. Jadi worasyu dalam artinya yang pertama, melambangkan rejeki yang berlimpah-limpah, sedang pengertian yang lain adalah pengangkatan status sosial dan derajat wanita yang berhasil memelihara ternak babi yang jumlahnya mencapai 30 sampai 80 ekor. Pemeliharaan babi disebut wotiaken. Besar-kecilnya penyelenggaraan upacara worasyu itu sangat tergantung dari hasil yang diperoleh. Bila hasilnya sedikit, biasanya diadakan upacara sederhana yang disebut worasnasi, yaitu mengadakan penguburan papeda bungus dan tepung sagu sebagai sesajen kepada fowor. Upacara ini biasanya dilakukan di hutan yang berjarak kurang lebih 400-600 meter dari kampung. Upacara worasyu biasanya dilakukan di halaman terbuka, di suatu tempat yang telah disiapkan, yaitu yatia. Di sini biasanya dibuat suatu bangunan yang menyerupai kerucut, bundar dengan garis tengah 20-30 meter. Atapnya terbuat dari daun sagu, seperti juga dindingnya, dan tiang intinya dari kayu besi, tingginya kira-kira 4-5 meter.

Penanggungjawab upacara ini adalah wotaken, yaitu tuan ternak, dibantuk oleh yuskwontor atauondowafi. Para petugas dalam upacara ini adalah seorang pembaca mantra, pengawas yatia, dan seorang pemimpin lagu dan syair selama upacara berlangsung, tokoh-tokoh adat yang bertugas merangkap semua urusan upacara, serta semua kerabat yang datang dari kampung lain maupun warga lain yang diundang.

Adapun atribut-atribut yang penting dalam upacara ini adalah papeda bungkus (worasnasi), tepung sagu mentahatau naa, pisang atau yur, sirih atau fer, kapur atau ku, tifa atau wong, babi, dan burung cendrawasih. Upacara ini berlangsung selama 24 jam, yang dimulaipada sore hari.

Orang Arso mempunyai konsep tentang orang sakti, yaitu orang yang berhubungan dengan seekor buaya sakti (watuwa), yang dalam mitologi menurunkan manusia melalui buah zakarnya. Anak yang dilahirkan Towyatua dan ubosuwa itu dinamakan Narowra, yang merupakan manusia yang mendapat kepercayaan Watuwa untuk meneruskan keturunan buaya sakti itu (Rombouts 1989: hlm. 13-17).

Seperti dalam semua kebudayaan di dunia, orang Arso juga mengenal upacara-upacara yang dilakukan sepanjang daur hidup. Walaupun pemberinan nama dan upacara perkawinan tampaknya tidak banyak mengandung unsur religi, upacara-upacara kematian sebaliknya mengandung banyak unsur religi.

Pada proses sosialisasi biasanya anak pria dan wanita yang sudah berumur 12-13 tahun dipisahkan dari orang tuanya. Mereka harus masuk rumah suling (mum-ja) yang didirikan di luar kampung dan dipagari agar tidak terlihat oleh seorang wanita dan anak-anak. Di rumah inilah anak pria itu diiniasiasi. Sebelum seorang anak laki-laki memasuki mum-ja, orang tua anak tersebut serta paman dari pihak ibunya menyediakan makanan sebanyak-banyaknya untuk pesra dan menjadi pelindung (jarwo) mereka dalam arti kata umum. Apabila suling ditiup, yang dilakukan oleh orang dewasa, maka anak-anak masuk ke dalam mum-ja. Pada waktu itu, mereka diberi waluh (penutup penis) dan noken, serta mendapat nama. Di dalam mum-ja mereka dipukuli dengan pelepah pisang hutan oleh orang-orang dewasa serta ditakut-takuti. Setelah itu mereka disuruh duduk di lantai dan orang-orang dewasa kemudian menyanyi dan meniup suling sambil berpesta pora. Anak-anak dilarang makan pisang, sukun, babi, ikan, pepaya, ubi, dan segala jenis daging, dan hanya boleh makan papeda, sayur, serta ikan-ikan kecil.

Anak-anak yang diinisiasi tinggal dalam mum-ja selama tiga-empat bulan. Di sana mereka diajar meniup suling secara benar dan bagus, cara berburu, dan dikenalkan dengan cerita-cerita mitologi. Menjelang kawin, anak-anak yang masuk mum-ja itu disebut sinbewagi. Biasanya setelah masa inisiasi berakhir, rambut mereka dicukur dan mereka disuruh berbaris di halaman muka mum-ja. Seorang pria dewasa kemudian memanah matahari, dan dengan demikian selesailah sudah masa inisiasi itu. Setelah keluar dari mum-ja, biasanya mereka tinggaldi rumah bujang (jatiya) sampai mereka menikah.

Suatu upacara kematian mengandung sedikit terligi karena mati berarti nyawanya diambil oleh roh yonggoway. Kematian juga bisa disebabkan karena masalah pelanggaran hak ulayat, perzinahan, atau karena pengaruh ilmu sihir orang lain. Biasanya orang meninggal akibat sihir itu. Jenazahnya diminta menunjukkan siapa yang telah membunuhnya. Akibatnya, akan timbul pembalasan dendam yang biasanya berakhir dengan suatu peperangan antar-keret. Setelah itu, jenazah diletakkan di atas sebuah bale-bale di hutan dan ditinggalkan begitu saja. Jalan menuju jenazah itu ditutupi dengan pohon-pohon kecil.
sumber : http://uun-halimah.blogspot.com/2008/10/sistem-kepercayaan-orang-arso-papua.html
 
 

b. Rambu Solo’ Pemakaman Adat Tana Toraja


Siapa yang tak kenal dengan Tana Toraja, negeri dengan begitu banyak adat istiadat dan tempat tujuan wisata yang sangat indah. Tana Toraja, berjarak 300 kilometer dari Makassar, Sulawesi Selatan, menyimpan berbagai macam adat dan budaya leluhur yang diwariskan oleh nenek moyang mereka dan tetap lestari hingga kini.
Setiap keturunan suku Toraja, di manapun berada, wajib menjunjung tinggi akar budaya nenek moyang mereka. Hingga kini, anak cucu keturunan suku Tana Toraja yang berada di luar negeri dan berbagai wilayah di Indonesia, akan tetap melakukan tradisi yang sama yang dilakukan oleh nenek moyang mereka ribuan tahun yang lalu.
Ketaatan mereka dalam menjalankan adat istiadat dan budaya peninggalan nenek moyang mereka hingga kini, menarik banyak wisatawan asing dan dalam negeri untuk mengunjungi Tana Toraja setiap tahunnya. Tana Toraja, kini menjadi salah satu daerah wisata andalan yang dimiliki oleh Sulawesi Selatan. Berbagai upacara adat yang dimiliki oleh Tana Toraja dan diselenggarakan setiap tahun, menjadi magnet tersendiri bagi wisatawan asing.
Ada berbagai upacara adat di Tana Toraja, salah satunya adalah Rambu Solo, upacara pemakaman leluhur yang telah meninggal beberapa tahun sebelumnya. Acaranya terdiri dari Sapu Randanan, dan Tombi Saratu’. Selain itu, dikenal juga upacara Ma’nene’ dan upacara Rambu Tuka’.
Upacara Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’ diiringi dengan seni tari dan musik khas Toraja selama berhari-hari. Rambu Tuka’ adalah upacara memasuki rumah adat baru yang disebut Tongkonan atau rumah yang selesai direnovasi satu kali dalam 50 atau 60 tahun. Upacara ini dikenal juga dengan nama Ma’Bua’, Meroek, atau Mangrara Banua Sura’.
Sementara itu, Rambu Solo’ sepintas seperti pesta besar. Padahal, merupakan prosesi pemakaman. Dalam adat Tana Toraja, keluarga yang ditinggal wajib menggelar pesta sebagai tanda penghormatan terakhir kepada yang telah meninggal. Orang yang meninggal dianggap sebagai orang sakit sehingga harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang hidup, seperti menemaninya, menyediakan makanan, dan minuman, serta rokok atau sirih.
Tidak hanya ritual adat yang dijumpai dalam upacara Rambu Solo’. Berbagai kegiatan budaya menarik pun ikut dipertontonkan, antara lain Mapasilaga Tedong (adu kerbau) dan Sisemba (adu kaki).
Rambu Solo’ akan semakin meriah jika yang meninggal adalah keturunan raja atau orang kaya. Jumlah kerbau dan babi yang disembelih menjadi ukuran tingkat kekayaan dan derajat mereka saat masih hidup. Di Rantepao, Anda bisa menyaksikan upacara Rambu Solo yang meriah.
Pembangunan makan bagi keluarga yang meninggal dan penyelenggaraan Rambu Solo’ biasanya menelan dana ratusa juta rupiah hingga miliaran. Tak heran, karena banyak sekali ritual adat yang harus mereka jalankan dalam prosesi pemakaman tersebut.
Salah satu Rambu Solo’ yang besar, berlangsung hingga tujuh hari lamanya. Yang seperti itu disebut Dipapitung Bongi. Hewan yang harus dipotong saja tak kurang dari 150 ekor, yang terdiri dari kerbau dan babi. Dagingnya akan mereka bagikan kepada penduduk desa sekitar yang membantu proses Rambu Solo’.
Upacara yang menyedot perhatian turis asing dan wisatawan lokal adalah  adu kerbau atau yang biasa disebut Mapasilaga Tedong. Sebelum diadu, dilakukan parade kerbau terlebih dahulu. Kerbau adalah hewan yang dianggap suci bagi suku Toraja. Yang bule atau albino harganya akan sangat mahal, mencapai ratusan juta rupiah. Ada pula kerbau yang memiliki bercak-bercak hitam di punggung yang disebut salepo dan hitam di punggung (lontong boke).
Prosesi pemotongan kerbau ala Toraja, Ma’tinggoro tedong adalah kegiatan selanjutnya, yaitu menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas. Semakin sore, pesta adu kerbau semakin ramai karena yang diadu adalah kerbau jantan yang sudah memiliki pengalaman berkelahi puluhan kali.
Rambu Solo’ mencerminkan kehidupan masyarakat Tana Toraja yang suka gotong-royong, tolong-menolong, kekeluargaan, memiliki strata sosial, dan menghormati orang tua. Mengenai adu kerbau, ia mengakui di satu sisi menjadi daya tarik pariwisata, namun di sisi lain banyaknya kerbau, terutama kerbau bule (Tedong Bonga), yang dipotong akan mempercepat punahnya kerbau. Apalagi, konon Tedong Bonga termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) yang merupakan spesies yang hanya terdapat di Toraja. (Kredit Foto: torajacybernews.com)
sumber : http://www.jalanjalanyuk.com/rambu-solo%E2%80%99-pemakaman-adat-tana-toraja/

c. Ukiran Tana Toraja


Ukiran Toraja adalah salah satu bukti kekayaan budaya yang dimiliki oleh Tana Toraja. Ukiran ini biasanya dapat dengan mudah ditemukan di sekujur bagian Tongkonan, baik rumah ataupun lumbung padi, serta di Erong. Ukiran lainnya yang dapat dengan mudah anda temukan adalah ukir-ukiran yang dibuat menjadi hiasan dinding untuk oleh-oleh atau corak di peralatan rumah tangga.
Ukir-ukiran Toraja umumnya berbentuk suatu motif tertentu walaupun ada juga yang spesial seperti ayam jantan, angsa, Tongkonan dan pemandangan. Motif-motif ukiran umumnya memiliki nama seperti Pa’ Tedong untuk ukiran motif kerbau dan Pa’ Erong untuk ukiran motif peti mati. Motif-motif yang diukir umumnya berbentuk melingkar, bulat, kotak-kotak dan bersiku. Warnanya sendiri kurang lebih hitam (warna dasar papan kayu), putih, merah dan kekuningan. Warna-warna ini diambil dari alam semua. Jadi bisa dikatakan pewarnaan ukiran berlangsung alami. Misalnya saja warna kekuningan berasal dari tanah liat dan putih berasal dari getah. Uniknya, setelah kering, warna-warna ini tidak luntur namun bersifat seperti warna cat pada umumnya.
sumber : http://lomardasika.blogspot.com/2010/03/indahnya-seni-ukiran-dari-toraja.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar