Minggu, 01 Januari 2012

Makna Kebenaran


Kita perlu menentukan definisi tentang sesuatu hal karena hal itu penting sekali sebagai titik tolak kerangka berfikir kita tentang sesuatu yang berujung kepada pola, bentuk, dan cara berkeyakinan dan berkelakuan kita. Dan sesuatu yang amat penting bagi kehidupan kita di dunia ini adalah mengetahui “ apa sih definisi kebenaran itu ? ”, karena hal ini akan menentukan nasib kita kelak. Ini adalah persoalan manusia yang sangat mendasar yang menjadi persoalan dan dipersoalkan oleh manusia sejak adanya manusia. Dan telah banyak para ahli pikir mendefinisikan kebenaran ini namun tanpa bimbingan wahyu (yang berupa kalam/kalimat-kalimat) dari Alloh (di dalam Al-Qur’an). Bagaimana wahyu (Al-Qur’an) menunjukkan jalan dan membimbing kita dalam menentukan definisi kebenaran ini ? Mari kita buka Al-Qur’an.
Kata kebenaran secara bahasa artinya adalah hal/perkara yang benar. Dalam bahasa Al-Qur’an ada dua kata yang sepadan maknanya dengan kata ini yaitu “al-haqq” dan “ash-shidq” yang membimbing kepada kita kepada pengertian adanya dua jenis kebenaran.
Kebenaran Jenis Pertama yakni Al-Haqq
Dikatakan di dalam QS 13 ayat 17 ,” anzala minas-sama-i ma-an fasalat audiyatu biqodariha fahtamalas-sailu zabadar robiya wa mimma yuqiduna ‘alaihi fin-narib-tigho-a hilyatin au mata-in zabadum mitsluhu kadzalika yadhribul-lohul-haqqa wal-bathila fa-ammaz-zabadu fayadzhabu jufa-a wa amma ma yanfa’un-nasa fayamkutsu fi-ardhi, kadzalika yadhribul-lohul-amtsala “, yang artinya, “ Dia (Alloh) telah menurunkan air (hujan) dari langit (yakni awan), maka mengalirlah air itu di lembah-lembah menurut ukurannya, maka aliran (air) itu membawa buih yang mengambang dan dari apa (yakni logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih aliran (air) itu. Demikianlah Alloh membuat perumpamaan (antara) al-haqq dan al-bathil. Adapun buih itu (sebagai perumpamaan al-bathil) akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya, adapun yang memberi manfaat kepada manusia (sebagai perumpamaan al-haqq), maka ia akan tetap di bumi. Demikianlah Alloh membuat perumpamaan-perumpamaan “
Dari ayat ini kita tahu al-haqq adalah lawan dari pada al-bathil. Kalau al-bathil maknanya yang sia-sia, yang tidak bermanfaat, yang tidak berguna bagi manusia (yang diumpamakan sebagai buih dalam ayat ini) maka tentu saja dengan demikian al-haqq (kebenaran) maknanya adalah “ yang tidak sia-sia, yang bermanfaat, yang berguna bagi manusia “(yang diumpamakan sebagai air yang meresap ke dalam bumi dan menjadi sumber air yang diminum oleh manusia). Sampai disini, makna ini sesuai dengan kesimpulan dari ahli pikir yang menelorkan “teori pragmatisme kebenaran” hanya saja mereka tidak sepakat dalam menentukan apa yang berguna bagi manusia karena mereka berbeda dalam menentukan apa yang berguna bagi manusia. Dalam ayat lain Al-Qur’an memberi jalan keluar dalam masalah ini, yakni QS 11 ayat 15-16, “ man kana yuridul-hayatad-dunya wa zinataha nuwaffi ilaihim a’malahum fiha wa hum fiha la yabkhosun. Ulaikal-ladzina laisa lahum fil-akhiroti illan-naru wa habitho ma shona’u fiha wa bathilum ma kanu ya’malun “, yang artinya, “ Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami (yakni Alloh) berikan kepada mereka balasan amal (perbuatan, pekerjaan) mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akherat kecuali neraka dan lenyaplah diakherat kelak apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah (al-bathil) apa-apa yang telah mereka kerjakan “ . Ayat ini membawa kepada pengertian bahwa sesuatu yang sia-sia (al-bathil) itu tidak hanya sia-sia di dunia saja tetapi ada juga yang sia-sia diakherat kelak. Sehingga membawa makna al-haqq menjadi “ yang tidak sia-sia, yang bermanfaat, yang berguna bagi manusia di dunia dan diakherat kelak “ . Apakah manusia bisa menentukan apa yang tidak sia-sia, yang berguna, yang bermanfaat bagi manusia itu sendiri di dunia dan diakherat? Tentu tidak mungkin bisa karena mereka tidak tahu akherat. Lalu siapa yang bisa ? Hanya Alloh robbul-‘alamin. Makanya al-haqq itu mesti dari Alloh (QS 2 ayat 147). Dan Alloh tentu menurunkan wahyu-Nya kepada para Nabi dan Utusan-Nya sehingga manusia bisa tahu al-haqq itu. Sementara itu dikatakan di dalam QS 22 ayat 62, “ dzalika biannal-loha huwal-haqqu wa anna ma yad’una min dunihi huwal-bathilu wa annal-loha huwal-‘aliyyul-kabiru “, yang artinya, “ (Kuasa Alloh) yang demikian itu karena Alloh adalah (robb dan ilah atau tuan, tuhan yang) al-haqq (artinya yang bermanfaat bagi manusia di dunia dan di akherat) dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Alloh (yakni robb dan ilah selain Alloh) itulah al-bathil (artinya yang tidak bermanfaat bagi manusia di dunia dan diakherat) dan sesungguhnya Alloh itu Dialah yang Maha Tinggi yang Maha Besar “. Ayat ini membawa kepada pengertian bahwa al-haqq (yang berguna bagi manusia baik di dunia dan diakherat) itu adalah “mengabdi/menhambakan-diri/menyembah/beribdah kepada Alloh saja” (ya’budulloha wahdah). Lalu mengabdi/menghambakan-diri/menyembah/beribadah kepada Alloh yang bagaimana al-haqq itu ?. Dikatakan di dalam QS 27 ayat 79, “ fatawakkal ‘alal-loh, innaka ‘alal-haqqil-mubin “, yang artinya, “ Maka bertawakallah kamu (wahai Muhammad saw) kepada Alloh. Sesungguhnya kamu (wahai Muhammad saw) berada di atas al-haqq yang nyata “ . Maka disini, sampailah kita pada kesimpulan akhir tentang definisi kebenaran jenis pertama yaitu kebenaran (al-haqq) adalah “ pengabdian/penghambaan-diri/penyembahan/peribadatan kepada Alloh saja seperti yang diajarkan dan dicontohkan oleh Muhammad saw “ . Inilah definisi kebenaran menurut bimbingan wahyu (Al-Qur’an). Contohnya, ketika Alloh memerintahkan sholat, kita pun sholat sebagaimana yang diajarkan dan dicontohkan oleh Muhammad saw, dan itu kita lakukan dengan niat karena Alloh semata. Ketika Alloh memerintahkan kita untuk memakai hijab/jilbab bagi wanita yang telah baligh, kitapun berhijab/berjilbab sebagaimana yang diajarkan Muhammad saw, dan itu kita lakukan dengan niat karena Alloh saja. Ketika Alloh memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada manusia maka kitapun berbuat baik kepada manusia, dan itu kita lakukan dengan niat karena Alloh semata, dst. Itulah yang dinamakan pengabdian/penghambaan-diri/penyembahan/peribadatan kepada Alloh saja, itulah hal/perkara yang benar (kebenaran) yang seharusnya dilakukan oleh seorang manusia sebagai hamba Alloh. Namun jika itu semua kita lakukan bukan karena Alloh dan tidak sesuai dengan yang diajarkan dan dicontohkan oleh Muhammad saw maka hal itu tidak bisa dinamakan pengabdian/penghambaan-diri/penyembahan/peribadatan kepada Alloh saja yang akan tidak berguna bagi yang melakukannya di akherat kelak (al-bathil). Kebenaran jenis ini sarat dengan nilai (value) karena ditentukan oleh Alloh dan tidak ditentukan oleh manusia.
Kebenaran Jenis Kedua yakni Ash-Shidq
Kebenaran jenis ini dapat kita pahami dari pengertian kata ash-shidq dalam bahasa Arab. Kata ash-shidq adalah lawan kata dari kata al-kidzb yang artinya bohong, dusta, maka kata ash-shidq artinya adalah benar, jujur, artinya menyatakan sebagaimana adanya. Tidak bisa tidak maka kata ini sangat erat kaitannya dengan realitas, kenyataan , yakni seluruh realitas, kenyataan (atau yang ada) sebagai bukti kebenaran, kejujuran suatu perkataan, ungkapan, kabar, dll dan ini hanya sebagian kecil saja yang dapat diketahui oleh manusia yang memiliki keterbatasan panca indra dan akal. Wahyu (Al-Qur’an) membimbing kita bahwa realitas, kenyataan itu terbagi menjadi dua yaitu realitas, kenyataan yang syahadati (yakni seluruh realitas, kenyataan yang dalam jangkauan panca indra dan akal manusia) (misalnya, diri kita, matahari, bulan, pohon, sel yang amat kecil itu, dll) dan realitas, kenyataan yang ghoibi (yakni seluruh realitas, kenyataan yang diluar jangkauan panca indra dan akal manusia karena jauh dan tersembunyi dari panca indra dan akal kita) (misalnya, Alloh, ruh, masa lalu dan masa depan, alam jin, alam malaikat, surga, neraka, dll). Seperti yang dikatakan di dalam QS 59 ayat 22, “ huwal-lohul-ladzi la ilaha illa huwa, ‘alimul-ghoibi wasy-syahadati, huwar-rohmanur-rohim “, yang artinya, “ Dia, Alloh, yang tidak ada ilah (tuan, tuhan) (yang haqq) selain Dia, yang mengetahui (ada) yang (bersifat) ghoib maupun (ada) yang (bersifat) nyata “. Dan wahyu (Al-Qur’an) telah membimbing kita bahwa perkataan (al-qoul, al-hadits) Alloh adalah benar, jujur, yang menunjukkan apa adanya. Seperti yang dikatakan di dalam QS 4 ayat 122, “… wa man ashdaqo minal-lohi qila “, yang artinya, “…dan siapakah yang lebih benar (dan lebih jujur) (yang menujukkan sebagaimana adanya) perkataanya dari pada Alloh ? “. Dan di dalam QS 4 ayat 87, “ …wa man ashdaqu minal-lohi haditsa “, yang artinya, “ …dan siapakah yang lebih benar (dan lebih jujur) (yang menujukkan sebagaimana adanya) beritanya dari pada Alloh? “. Maka dengan demikian Al-Qur’an adalah Ash-Shidq (benar, jujur, menyatakan sebagaiman adanya) atau kebenaran karena ia merupakan kalam/kalimat-kalimat/perkataan Alloh.
Kebenaran jenis ini tidak akan keluar kecuali dari orang-orang yang benar, jujur (ash-shidiq) dan tidak akan mungkin keluar dari orang yang pembohong, pendusta (al-kadzib). Maka salah satu cara untuk mengetahui kebenaran jenis ini adalah dengan mengetahui kredibilitas penyampai perkataan, berita, kabar, dll tersebut, seorang yang benar, jujur ataukah seorang pembohong, pendusta.
Jadi kebenaran jenis kedua ini bisa didefinisikan dengan “ kesesuaian dengan realiatas, kenyataan yang ada “. Kebenaran jenis ini bisa bersifat netral dan bebas dari nilai (value) karena hanya menyampaikan apa adanya. Namun dalam hal-hal tertentu bisa memberi manfaat bagi manusia di dunia dan di akherat (al-haqq) karena bisa membuat manusia berkeyakinan dan berkelakukan yang benar yang membawa manfaat bagi manusia yang melakukannya diakherat kelak, misalnya, Isa anak Maryam as itu hanyalah salah seorang Rosul/Utusan Alloh seperti yang dikatakan di dalam QS 5 ayat 75 sehingga kita tidak perlu berdoa kepadanya dan kita hanya perlu berdoa kepada Alloh saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar