Minggu, 01 Januari 2012

manusia dan penderitaan



A. Makna Penderitaan

Penderitaan berasal dari kata dasar derita. Sementara itu kata derita merupakan serapan dari bahasa sansekerta, menyerap kata dhra yang memiliki arti menahan atau menanggun. Jadi dapat diartikan penderitaan merupakan menanggung sesuatu yang tidak meyenakan. Penderitaaan dapat muncul secara lahiriah, batiniah atau lahir-batin. Penderitaan secara lahiriah dapat timbul karena adanya intensitas komkosisi yang mengalami kekurangan atau berlebihan, seperti akibat kekurangan pangan menjadi kelaparan, atau akibat makan terlalu banyak menjadi kekenyangan, tidak dapat dipungkiri keduanya dapat menimbulkan penderitaan. Adapula kondisi alam yang ekstrem, seperti ketika terik matahari membuat kepanasan, atau saat kehujanan membuat kedinginan.

Ada pula penderitaan yang secara lahiriah seperti sakit hati karena dihina, sedih karena kerabat meninggal, putus asa karena tidak lulus ujian. Atau penyesalan karena tidak melakukan yang diharapkan. Sementara yang lahir-batin dapat muncul dikarenakan penderitaan pada sisi yang satu berdampak pada sisi yang lain atau dengan kata lain penderitaan lahiriah memicu penderitaan batiniah atau sebaliknya. Misal akibat kehujanan badan menjadi kedinginan namun tidak ada tempat berteduh akibatnya mendongkol, risau atau menangis. Ada pula karena putus asa tidak lulus ujian menjadi tidak mau makan dan menimbulkan perut sakit.

Intensitas penderitaan bertingkat-tingkat, dari yang terberat hingga ringgan. Persepsi pada setiap orang juga berpengaruh menentukan intensitas penderitaan. Suatu kejadian dianggap penderitaan oleh seseorang belum tentu dianggap penderitaan bagi orang lain. Dalam artian suatu permasalahan sederhana yang dibesar-besarkan akan menjadi penderitaan mendalam apabila disikapi secara reaksioner oleh individu. Ada pula masalah yang sangat urgen disepelekan juga dapat berakibat fatal dan menimbulkan kekacauan kemudian terjadi penderitaan.

Manusia tidak dapat mengatakan setiap situasi masalahnya sama, penderitaanya sama solusinyapun sama. Penderitaan bersifat universal dapat datang kepada siapapun tidak peduli kaya maupun miskin, tua maupun muda. Penderitaan dapat muncul kapanpun dan dimanapun. Semisal saat seminar di siang hari, suasana pengap, ada kipas anginpun masih kipas-kipas membayangkan ruang ber AC, dan pulang tidur merentangkan badan di kasur empuk. Atau makan buah segar dan minum air dingin. Namun pasien rumah sakit di ruang VIP, tidur di kasur empuk ruang ber-AC, banyak buah segar dan air segar di kulkas, merasa tidak betah dan ingin cepat pulang. Ada lagi orang yang tidak mempunyai uang merasa menderita tidak dapat wisata saat liburan, namun ada pula orang yang berpergian membawa uang banyak tanpa bekal hendak liburan ternyata mobil mogok di daerah yang jauh dari permukiman, dan saat makan siang tiba, rasa lapar mulai muncur, ternyata uang tidak dapat menolong dari penderitaan karena tidak ada barang yang bisa di beli, terlebih muncul rasa gengsi atau keegoisan penumpang lain menambah penderitaan.

Penderitaan merupakan realita kehidupan manusia di dunia yang tidak dapat dielakan. Orang yang bahagia juga harus siap menghadapi tantangan hidup bila tidak yang muncul penderitaan. Dan orang yang menghadapi cobaan yang bertubi-tubi harus berpengharapan baik akan mendapatkan kebahagian. Karena penderitaan dapat menjadi energi untuk bangkit berjuang mendapatkan kebahagian yang lalu maupun yang akan datang.
Akibat penderitaan yang bermacam-macam manusia dapat mengambil hikmah dari suatu penderitaan yang dialami namun adapula akibat penderitaan menyebabkan kegelapan dalam kehidupan.
Sehingga penderitaan merupakan hal yang bermanfaat apabila manusia dapat mengambil hikmah dari penderitaan yang dialami. Adapun orang yang berlarut-larut dalam penderitaan adalah orang yang rugi karena tidak melapaskan diri dari penderitaan dan tidak mengambil hikmak dan pelajaran yang didapat dari penderitaan yang dialami.
Penderitaan juga dapat "menular" dari seseorang kepada orang lain. Misal empati dari sanak-saudara untuk membantu melepaskan penderitaan. Atau sekedar simpati dari orang lain untuk mengambil pelajaran dan perenungan.

Contoh gamblam penderitaan manusia yang dapat diambil hikmahnya diantaranya tokoh filsafat ekistensialisme Kierkegaard (1813-1855) seorang filsafat asal Denmark yang sebelum menjadi filsafat besar, sejak masa kecil banyak mengalami penderitaan. Penderitaan yang menimpanya, selain melankoli karena ayahnya yang pernah mengutuk Tuhan dan berbuat dosa melakukan hubungan badan sebelum menikah dengan ibunya, juga kematian delapan orang anggota keluarganya, termaksud ibunya, selama dua tahun berturut-turut. Peristiwa ini menimbulkan penderitaan yang mendalam bagi Soren Kierkegaard, dan ia menafsirkan peristiwa ini sebagai kutukan Tuhan akibat perbuatan ayahnya. Keadaan demikian, sebelum Kierkegaard muncul sebagai filsuf, menyebabkan dia mencari jalan membebaskan diri (kompensasi) dari cengkraman derita dengan jalan mabuk-mabukan. Karena derita yang tak kunjung padam, Kierkegaard mencoba mencari “hubungan” dengan Tuhannya, bersamaan dengan keterbukaan hati ayahnya dari melankoli. Akhirnya ia menemukan dirinya sebagai seorang filsuf eksistensial yang besar.

Penderitaan Nietzsche (1844-1900), seorang filsuf Prusia, dimulai sejak kecil, yaitu sering sakit, lemah, serta kematian ayahnya ketika ia masih kecil. Keadaan ini menyebabkan ia suka menyendiri, membaca dan merenung diantara kesunyian sehingga ia menjadi filsuf besar.
Lain lagi dengan filsuf Rusia yang bernama Berdijev (1874-1948). Sebelum dia menjadi filsuf, ibunya sakit-sakitan. Ia menjadi filsuf juga akibat menyaksikan masyarakatnya yang sangat menderita dan mengalami ketidakadilan.
Sama halnya dengan filsuf Sartre (1905-1980) yang lahir di Paris, Perancis. Sejak kecil fisiknya lemah, sensitif, sehingga dia menjadi cemoohan teman-teman sekolahnya. Penderitaanlah yang menyebabkan ia belajar keras sehingga menjadi filsuf yang besar.
Masih banyak contoh lainnya yang menunjukkan bahwa penderitaan tidak selamanya berpengaruh negatif dan merugikan, tetapi dapat merupakan energi pendorong untuk menciptakan manusia-manusia besar.

Contoh lain ialah penderitaan yang menimpa pemimpin besar umat Islam, yang terjadi pada diri Nabi Muhammad. Ayahnya wafat sejak Muhammad dua bulan di dalam kandungan ibunya. Kemudian, pada usia 6 tahun, ibunya wafat. Dari peristiwa ini dapat dibayangkan penderitaan yang menimpa Muhammad, sekaligus menjadi saksi sejarah sebelum ia menjadi pemimpin yang paling berhasil memimpin umatnya (versi Michael Hart dalam Seratus Tokoh Besar Dunia).

Dalam riwat hidup Bhuda Gautama yang dipahatkan dalam bentuk relief Candi Borobudur, terlihat adanya penderitbn. Tergambar seorang pangeran (Sidharta) yang meninggalkan istana yang bergelimangan hata, memilih ke hutan untuk menjadi biksu dan makan dengan cara megembara di hutan yang penuh penderitaan.
Riwayat tokoh tokoh besar di Indonesia pun dengan penderitaan. Buya Hamka mengalami penderitaany hebat pada masa kecil, hingga ia hanya mengecap sekolah kelas II. Namun ia mampu menjadi orang besar pada zamanya, berkat perjuangan hidup melawan penderitaan. Contoh lain adalah Bung Hata yang beberapa kali mengalami pembuangan namun pada akhirnya ia dapat menjadi pemimpin bangsanya.

Ketika membaca kisah tokoh-tokoh besar tersebut, kita dihadapkan pada jiwa besar, berani karena benar, rasa tangung-jawab, dan sebagainya. Dan tidak ditemui jiwa munafik plin-plan, dengki, iri dan sebagainya.
http://gerobak-wawasan.blogspot.com/2011/09/makalah-manusia-dan-penderitaan.html


B. Makna Sikaan



Siksaan atau penyiksaan (Bahasa Inggristorture) digunakan untuk merujuk pada penciptaan rasa sakit untuk menghancurkan kekerasan hati korban. Segala tindakan yang menyebabkan penderitaan, baik secara fisik maupun psikologis, yang dengan sengaja dilakukkan terhadap seseorang dengan tujuan intimidasibalas dendamhukumansadisme, pemaksaan informasi, atau mendapatkan pengakuan palsu untuk propaganda atau tujuan politik dapat disebut sebagai penyiksaan. Siksaan dapat digunakan sebagai suatu cara interogasi untuk mendapatkan pengakuan. Siksaan juga dapat digunakan sebagai metode pemaksaan atau sebagai alat untuk mengendalikan kelompok yang dianggap sebagai ancaman bagi suatu pemerintah. Sepanjang sejarah, siksaan telah juga digunakan sebagai cara untuk memaksakan pindah agama atau cuci otak politik.
Penyiksaan hampir secara universal telah dianggap sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia, seperti dinyatakan Deklarasi Hak Asasi Manusia. Para penandatangan Konvensi Jenewa Ketiga dan Konvensi Jenewa Keempat telah menyetujui untuk tidak melakukan penyiksaan terhadap orang yang dilindungi (penduduk sipil musuh atau tawanan perang) dalam suatu konflik bersenjata. Penanda tangan UN Convention Against Torture juga telah menyetujui untuk tidak secara sengaja memberikan rasa sakit atau penderitaan pada siapapun, untuk mendapatkan informasi atau pengakuan, menghukum, atau memaksakan sesuatu dari mereka atau orang ketiga. Walaupun demikian, organisasi-organisasi seperti Amnesty International memperkirakan bahwa dua dari tiga negara tidak konsisten mematuhi perjanjian-perjanjian tersebut.

C. Makna Rasa Sakit



Rasa sakit adalah rasa yang dirasakan atau dialami oleh penderita dan setiap manusia akan selalu mengalaminya. Rasa sakit dan siksaan merupakan rentetan sebab akibatnya. Karena ada siksaan orang merasa sakit, dan karena merasa sakit orang menderita. Banyak hikmah yang bisa kita ambil dari rasa sakit, misalnya timbul rasa kasihan terhadap penderita, adanya rasa keprihatinan manusia, rasa social, dapat mendekatkan diri penderita kepada Tuhan, dll.


D. Makna Sumber Penderitaan

Sumber penderitaan merupakan hal yang menyebabkan seseorang merasakan atau mengalami sebuah penderitaan. Sumber penderitaan tersebut dapat berupa kekecewaan yang mendalam akibat kegagalan mencapai suatu tujuan, kehilangan seseorang yang sangat dicintainya, musibah seperti banjir, gempa bumi , dll yang menimpa saudara atau teman dekat kita, dan lain sebagainya.

E. Upaya Untuk Menghindarkan dan Menghilangkan Penderitaan

Penderitaan jiwa, berat maupun ringan, sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia di zaman modern ini. Sadar atau tak sadar, banyak orang merasakan penderitaan dan rintihan dalam batinnya. Terhibur dalam keramaian tapi gelisah dalam kesendirian, menjerit dalam kesunyian, menemukan orang yang tepat untuk curhat sulit, orang tua tidak mengerti. Problem ini dirasakan termasuk oleh orang-orang yang taat menjalankan kehidupan ritual agamanya sehari-hari. Dalam keramaian seperti tak ada masalah, ceria, riang dan gembira, tapi dalam kesendirian dan kesunyian, batinnya menjerit karena masalah tak hilang-hilang, beban perasaan terasa berat, stres oleh pekerjaan yang menumpuk, jodoh tak kunjung datang, uang dan materi berlimpah tapi tak ada ketenangan hidup, makanan banyak tapi tak ada kenikmatan dst. Akhirnya, tak betah di rumah, asing dengan diri sendiri, hidup merasa tak bermakna. Kebahagiaan tidak tahu entah ada dimana.

Apa yang dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah seperti ini? Umumnya kita melakukan tiga berikut ini: Pertamarefresing dalam berbagai bentuknya seperti rekreasi, hiburan, nonton, olah raga, jalan-jalan, kumpul-kumpul, nongkrong di cafĂ©, belanja menghabiskan waktu dan uang. Kedua, menyibukkan diri dalam berbagai aktifitas yang diharapkannya bisa melupakan problem-problem hidupnya untuk sementara. Ketiga, menghukum dirinya dengan duduk berjam-jam depan komputer menghabiskan waktu dengan main game, chattingatau yang paling populer sekarang, fesbukan. Ditulislah status-status yang berisi kalimat-kalimat indah, puisi atau curhat yang mengkespresikan penderitaan jiwa yang sedang dialaminya: tentang kehampaan hidup, ketiadaan cinta, kesendirian, kekecewaan dan lain-lain. Dengan cara-cara itu ia berharap penderitaannya akan berkurang atau hilang. Tapi kenyataan tidak, masalah tetap saja muncul dan muncul lagi. Mengatasi penderitaan jiwa kepada aktivitas-aktivitas hiburan seperti itu karena kebingungannya harus bagaimana dan melakukan apa. Masalah tetap saja lestari. Akhirnya, tindakan menjadi salah kaprah. Yang menderita jiwa, yang diobatinya fisik. Sumber masalahnya dalam batin, tapi yang kita lakukan tindakan-tindakan lahir. Yang merasakannya hati tapi jawabannya adalah fikiran atau tindakan-tindakan rasional. Ibaratnya, motor rusak dibawa ke puskesmas, sakit gigi datang ke bengkel, demam pergi ke tukang jahit. Akhirnya, masalah tidak hilang-hilang!
Mengatasi penderitaan jiwa dengan bentuk-bentuk hiburan tidak akan menyelesaikan apa yang sedang kita rasakan. Yang kita dapatkan dari hiburan hanyalah kegembiraan atau kesenangan sesaat yang ketika pulang ke rumah atau kembali pada kesendirian, derita-derita itu datang lagi. Begitulah seterusnya. Karena sudah menjadi sistem kesadaran yang berlangsung lama, akhirnya penderitaan muncul terus-menerus. Di hadapan orang, mungkin penderitaan itu bisa kita sembunyikan, kita seolah biasa-biasa saja, tapi hati tidak bisa dipungkiri apalagi saat-saat menyendiri. Derita-derita itu sungguh sangat menyiksa.
Tidak Tepat Terapi
Salah terapi membuat masalah tidak sembuh-sembuh sehingga penderitaan datang terus-menerus. Setiap masalah yang dialami manusia ada sebab dan akar-akarnya sendiri. Karena itu, proses penyembuhannya pun berbeda satu sama lain. Penyembuhan dengan pendekatan agama secara umum, misalnya dengan memperbanyak dzikir, shalat sunat atau sabar dan tawakkal tidak akan menyelesaikan masalah karena itu semua tidak mengungkap akar-akar masalahya. Ibaratnya, harusnya datang ke dokter spesialis tapi kita datang ke dokter umum.
Mengatasi kesulitan hidup yang memproduksi keluhan-keluhan jiwa bukan dengan sabar dan tawakal yang sering diartikan menerima dengan pasif atau dengan wirid/dzikir sekian ribu kali, istikharah, puasa senin-kamis, tahajjud atau baca asma ul-husna dengan bilangan tertentu. Semua praktek itu untuk menenangkan jiwa bukan untuk menyelesaikan masalah. Banyak mengingat Allah dengan berdzikir itu untuk menenangkan hati: “Ala bidzikrillahi tathma’innul qulub” (Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang), bukan untuk membereskan masalah hingga selesai dan tidak muncul lagi. Buktinya, banyak orang rajin berdzikir tapi mental buruknya tetap saja tidak hilang, banyak orang shalatnya rajin tapi ketika mengejar keinginan tetap saja menghalalkan segala cara, banyak orang sabar dan tawakkal tetap saja jodohnya tidak datang, orang rajin puasa sunat tapi tetap saja kesadaran hidupnya rendah. Bukan ritual agamanya yang salah, tapi antara masalah dengan penyelesaian tidak nyambung, bukan ibadah yang salah, tapi pengobatan tidak tepat.
Shalat sunat, puasa sunat atau dzikir adalah ibadah tambahan untuk melengkapi atau menyempurnakan ibadah-ibadah wajib yang banyak kekurangannya atau yang kita kerjakan tidak maksimal. Ibadah-ibadah sunah itu kita laksanakan sebagai ketaatan pada nabi untuk mencontoh perilaku dan kebiasaan beliau sebagai teladan yang baik(uswatun hasanah). Kalau pun berdampak pada berkurangnya beban masalah atau kesembuhan penyakit, itu karena kasih sayang Allah saja, bukan oleh ibadah-ibadah itu, dan bukan  untuk tujuan menyelesaikan masalah kita beridabah kepada Tuhan.
Bagaimana Mengatasi Masalah yang Tepat?
Ketika penderitaan-penderitaan jiwa menghimpit seseorang pengobatannya bukan dengan memperbanyak dzikir, wirid atau membaca asma ul-husna, apalagirefreshing ke tempat-tempat hiburan. Yang seharusnya dilakukan adalah merenung dan merenung, menghisab diri (introspeksi) atas semua kesalahan, dosa, pembangkangan dan pelanggaran-pelanggaran agama yang pernah dilakukan. Tapi, ini agak sulit. Tidak mudah orang menemukan dan menyadari kesalahan-kesalahannya sendiri. Maka, cara yang benar adalah carilah orang yang bisa memberikan nasehat!! Tanyakanlah mengapa masalah demi masalah datang tak habis-habisnya, kemudian duduk, diam dan dengarkan orang yang menasehati kita.

Orang yang diminta nasehat harus orang yang tepat: yang bersih hatinya, lurus hidupnya, jernih pandangannya, taat agamanya, satu kata antara hati dan perbuatannya, bisa menguasai hawa nafsunya dan tidak mencintai dunia. Dan yang penting dicatat, bukan orang (termasuk kiayi atau ahli hikmah) yang memberikan resep-resep instan agar masalah cepat selsesai, tapi yang bisa menguraikan kesalahan-kesalahan kita, membeberkan kelemahan dan kekurangan kita, yang menunjukkan keburukan-keburukan kita, yang semua menjadi penyebab yang tidak disadari (hijab ruhani) munculnya penyakit-penyakit dalam diri kita, lahir maupun batin.
Mencari orang seperti itu tidak susah bila ada kemauan. Malas atau membayangkan sulit mencarinya adalah penghalang pertama dari kesembuhan. Cara untuk menemukan orang seperti itu adalah dengan menghidupkan kepekaan hati atau qalbu kita: siapakah dalam lingkungan pergaulan kita, atau yang pernah kita kenal atau kita dengar memiliki atau paling dekat dengan sifat-sifat yang disebutkan di atas. Kuburkanlah status sosial kita saat mencari orang seperti itu, jauhkanlah kesombongan karena kebenaran tak ditemukan melalui gengsi dan keangkuhan. Semakin mampu kita menguburkan egosime dan kesombongan, semakin rendah memandang diri sendiri, semakin merasa diri penuh dengan kelemahan dan kekurangan bahkan kehinaan, Insya Allah, “antena” kita makin kuat untuk menangkap sinyal dimana orang yang layak memberikan nasehat itu berada. Dan itu tak selalu berhubungan dengan ketenaran, usia, sebutan kiayi, ustadz dan sebagainya.
Bila sudah menemukannya, datangi lalu pintalah nasehatnya. Tanyakanlah mengapa kita selalu banyak masalah. Tanyakanlah mengapa kita terpuruk, mengapa kita jatuh, mengapa kita stres, mengapa kita tidak dihormati orang, mengapa sulit mencari jodoh, mengapa anak-anak di rumah tidak hormat dan sulit diatur dst. Tanyakanlah kesalahan dan keburukan apa yang kita lakukan. Ketika nasehat diberikan, praktekkanlah rumus 3D: duduk, diam, dengarkan!Hanya itu yang patut kita lakukan saat mendengarkan nasehat. Janganlah pernah membantah nasehat dengan penjelasan dan kata-kata, dengan pikiran, dengan argumen, bela diri dan apologi. Bila itu ditunjukkan, itulah penghalang kedua dari kesembuhan.
Penyakit umum kita adalah membantah nasehat dan banyak menjelaskan. Buanglah jauh-jauh kedua sifat itu. Argumen dan penjelasan diperlukan dalam kegiatan diskusi bukan saat menerima nasehat. Salah satu problem akut manusia modern adalah sulitnya menundukkan hati untuk mendengarkan nasehat dengan rendah hati, tawadhu dan pengakuan kesalahan. Bila rumus 3D itu dijalankan, Insya Allah, jawaban dari persoalan-persoalan hidup yang kita rasakan akan berkurang kemudian hilang. Mengapa? Karena kita melakukan secara tepat tiga hal: benar memahami masalah diri, benar kemana kita harus datang, dan benar apa yang harus kita lakukan. Tepat identifikasi masalah, tepat cara/metoda dan tepat langkah, pasti akan mendatangkan tepat hasil.[] Wallahu’alam!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar