Pemberantasan Korupsi Dari Perspektif Hukum dan Politik
Oleh : Riko Riyanda*
Di Indonesia praktek korupsi sudah semakin meluas dan bahkan sudah sampai disegala aspek kehidupan, baik itu ditingkat seluruh kelembagaan di pusat maupun di daerah, korupsi bak seperti pelaku kecanduan narkoba yang sulit diberantas karena sudah menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi setiap saat dan serta manjadi jalan hidup oleh koruptor untuk memperoleh harta kekayaan sebanyak-banyaknya (way of life), tanpa mempedulikan lagi yang namanya hukum serta azas kemanusiaan. Perilaku korupsi di Indonesia dalam sejarahnya sudah menjadi kebiasaan (budaya) yang sulit untuk diberantas, karena banyaknya permasalahan-permasalahan diberbagai aspek yang mendukung terjadinya korupsi itu sendiri. Kompleksitas korupsi ini seolah-olah tidak menjadi permasalahan prioritas yang harus diselesaikan secara bersama-sama namun lebih kepada korupsi dijadikan alat bagi penguasa yang mempunyai wewenang dan otoritas untuk memberikan kesempatan serta peluang untuk dirinya sendiri dan kelompoknya (partai) agar korupsi itu ada dibawah tangannya.
Ini bisa dilihat dari berbagai indikator misalnya dimulainya dari Peraturan PerUndang-Undangan itu sendiri yang memberikan kelemahan-kelamahan terjadinya korupsi, itu baru dilihat dari segi peraturannya yang memberikan peluang atau celah serta kesempatan terjadinya korupsi, belum lagi dari simtem yang bobrok yang diperlakukakan oleh lembaga-lembaga negara pada umumnya yang tidak terkontrol dan anehnya orang yang berprilaku baik (sholeh) ketika sudah memasuki sisitem yang bobrok tersebut malah ikut-ikutan masuk ke dalam sistem yang tidak dikehendakinya, jadi orang yang baik, cerdas, profesional, dan mempunyai track record yang bagus tidak menjadi jaminan dia bisa terhindar dari kejahatan korupsi.
Korupsi bak seperti lingkaran setan yang sulit untuk keluar karena kerjanya dipengaruhi oleh sistem yang jelek yang dibangun oleh para penguasa yang mempaunyai otoritas dan wewenag. Dan yang tidak kalah pentingnya terjadinya korupsi itu disebabkan oleh penyalahgunaann kekuasaan tanpa adanya akuntabilitas dan transparansi kepada publik sehingga kekuasaan yang mereka miliki digunakan untuk kepentingan pribadi atau sekelompok golongan tanpa mempedulikan nasib kepentingan rakyat yang semestinya mereka perjuangkan sebagai wakil rakyat (DPR) ataupun para pejuang penegak hukum (Kejaksaan Agung, hakim dan Kepolisian), sebagai konsekuensi dari korupsi itu rakyatlah yang menaggung beban akibat dari para pelaku koruptor, rakyat menjadi miskin, pengangguran bertambah banyak, biaya ekonomi semakin mahal, yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah miskin, kesenjangan itu semakin terlihat akibat oleh para koruptor. Tidak salah kalau korupsi itu disebut sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), bahkan ia merupakan ancaman terhadap kemanusiaan (crime again himanity) dimanakah hati nurani mereka sesungguhnya?
Terjadinya korupsi itu sendiri tidak bisa lepas dari aspek ”hukum dan politik”, ketika hukum benar-banar ditegakkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dinegara ini, maka akan ada secercah harapan agar korupsi ini bisa dibasmi atau setidaknya dikurangi, ketika berbicara hukum tentunya tidak lepas dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah atau lemabaga yang berwenang untuk membuat Undang-undang seperti DPR. Jadi sejatinya kedua elemen pokok itu sangat menentukan upaya pemberantasan pelaku korupsi di Indonesia yang sudah semakin merajalela, contohnya adalah ketika Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan tujuan untuk mengatasi, menanggulangai dan memberantas korupsi yakni pembentukan lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) merupakan langkah positif yang dilakukan oleh pemerintah dan lemabga DPR sehingga kejahatan korupsi ini kembali ditakuti olek koruptor yang semenjak dekade silam penegakan hukum mengalami krisis.
Upaya ini semestinya kita dukung secara bersama-sama, bukan untuk dibikin isu agar lemabaga ini dibubarkan oleh DPR, kalau isu ini sampai terjadi kita bisa mengukur lembaga DPR bukan lagi sebagai Dewan Perwakilan Rakyat tetapi Dewan penyengsara rakyat. Tentunya kita masih berharap lembaga negara seperti DPR selalu memperjuangkan aspirasi rakyat, mendengarkan hati nurani, menjadi pengkriktik kebijakan pemerintah yang menyeleweng dan merugikan rakayat, serta menjadi teladan bagi politisi yang belum berkiprah secara nasional, mudah-mudahan ke depannya kesemua ini bisa terwujud. Selain Lemabaga DPR selaku pembetuk Undang-Undang yang disetujui oleh presiden, kita masih berharap kepada para penegak hukum seperti Kejaksaan Agung agar benar-benar menjalankan fungsinya secara penuh komitmen dan tanggung jawab, tertangkapnya Tri Urip Gunawan sebagai pelaku korupsi cukuplah menjadi pelajaran berharga bagi jaksa-jaksa lainnya, jaksa yang diharapkan menyapu bersih korupsi malah tertangkap tangan melakukan korupsi, semoga ini menjadi tolak ukur bagi Ketua Kejaksaan Agung sudah sampai sejauh mana kinerja anggotanya.
Kemudian persoalan hakim, kita harapakan hakim yang adil akan tumbuh di negara tercinta ini, hakim yang adil hanya akan tumbuh ketika uang bukan segala-galanya tapi lebih kepada pertangung jawaban terhadap negara dan amanah yang mereka kerjakan nantinya akan dipertanggungjawabkan diakhirat kelak. Sebagai bangsa yang beragama seorang hakim harus memikirkan sampai kesana. Parameter hakim yang adilpun tidak bisa ditentukan oleh kualitasnya, jenjang pendidikan, serta lulus secara uji kalayakan tapi lebih kepada hati nuraninya yang takut kepada Tuhan bukan kepada manusia.
Lembaga Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) yang harus diselenggarakan di daerah juga harus dipertimbangkan secara matang dan bijaksana, walaupun mengingat dibentuknya pengadilan ini disetiap daerah akan menghabiskan anggaran, tapi persoalan ini harus dipikirkan lagi mengingat korupsi sudah mendarah daging dan sulit sekali untuk diberantas di daerah. Lembaga selanjutnya adalah lembaga kepolisioan, sudah sepatutnya lemabga kepolisian sebagai panutan bagi masyarakat bukan sebagai lembaga yang harus ditakuti keberaaannya dalam penegakan hukum di Indonesia ini. Kita sangat bersyukur ditengah-tengah tidak konsisitennya (inkonsistensi) lembaga-lembaga penegak hukum ini justru KPK hadir sebagai para pejunag penegak kedilan walaupan kinerjanya masih terdapat kekurangan-kekurangan.
Selain dilihat dari prespektif hukum, kita bisa juga melihat dari kaca mata politik, sejatinya politik awalnya bermakna mulia. Bila kita baca kembali buku-buku teori tentang perpolitikan, hampir semua menyatakan bahwa politik bertujuan sebagai sarana memperjuangkan kepentingan rakyat atau umat. Para teoritikus dan filosof politik mulai dari plato hingga Al-Mawardi dan Ibnu Taymiah manyatakan bahwa politik adalah jalan untuk mensejahterakan rakyat. Bahkan analisis politik modren seperti Robert Dahl dan Samuel Hutington berulang kali menjelaskan makna dan peran strategis partai politik untuk menunjang dan menciptakan demokrtasi. Karena itu partai politik yang kuat dan mengakar menjadi mutlak untuk menunjang kedewasaan politik semua bangsa demi mewujudkan cita-cita politik yang mensejahterakan rakyat.
Tentu saja teori politik yang mulia itu tidak selalu berbanding lurus dengan kenyataannya, faktanya berkata lain, justru politik dijadikan alat untuk memperoleh kekuasaan, yang dijadikan permasalahan ketika alatnya itu disalah gunakan oleh penguasa untuk tidak mensejahterakan raktat. Para penguasa lebih bersifat pragmatis demi kepentingan semata yang diedentikkan dengan uang dan uang. Political wiil yang kita harapakan kepada pemerintah untuk pelaku korupsi malah belum berjalan secara optinmal, yang amat kita sayangkan adalah demokarasi itu justru ternodai oleh kineja partai politik yang fungsinya tidak lagi memberikan pendidikan politik tetapai hanya sebagai jemabatan kekuasan yang digunakan oleh aktor untuk menduduki kursi di parlemen, partai politik tidak gencar memrangi korupsi malah terlibat melakukan tindak kejahatan korupsi, menurut data Global Corruption Barometer (GCB)-TI Indonesia tahun 2007 kemaren partai politik menempati rangking yang ke 4 (empat) sesudah kepolisian, parlemen dan pengadilan.
Sebagai penutup fungsi politik sebagai sarana dan jalan menuju negara yang demokratis harus kita tegakkan secara bersama-sama, jangan politik dijadikan kambing hitam dan menodai demokrasi di indoneseia, tapi politik lebih dilhat sebagai kebijakan, kebijaksanaan pemerinatah, serta kekuasaan yang mesti ada untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat sesuai dengan asaz Pancasila dan amanah kontitusi UUD 1945, semoga saja pemberantasan korupsi ini bisa kita wujudkan secara bersama-sama.
Ini bisa dilihat dari berbagai indikator misalnya dimulainya dari Peraturan PerUndang-Undangan itu sendiri yang memberikan kelemahan-kelamahan terjadinya korupsi, itu baru dilihat dari segi peraturannya yang memberikan peluang atau celah serta kesempatan terjadinya korupsi, belum lagi dari simtem yang bobrok yang diperlakukakan oleh lembaga-lembaga negara pada umumnya yang tidak terkontrol dan anehnya orang yang berprilaku baik (sholeh) ketika sudah memasuki sisitem yang bobrok tersebut malah ikut-ikutan masuk ke dalam sistem yang tidak dikehendakinya, jadi orang yang baik, cerdas, profesional, dan mempunyai track record yang bagus tidak menjadi jaminan dia bisa terhindar dari kejahatan korupsi.
Korupsi bak seperti lingkaran setan yang sulit untuk keluar karena kerjanya dipengaruhi oleh sistem yang jelek yang dibangun oleh para penguasa yang mempaunyai otoritas dan wewenag. Dan yang tidak kalah pentingnya terjadinya korupsi itu disebabkan oleh penyalahgunaann kekuasaan tanpa adanya akuntabilitas dan transparansi kepada publik sehingga kekuasaan yang mereka miliki digunakan untuk kepentingan pribadi atau sekelompok golongan tanpa mempedulikan nasib kepentingan rakyat yang semestinya mereka perjuangkan sebagai wakil rakyat (DPR) ataupun para pejuang penegak hukum (Kejaksaan Agung, hakim dan Kepolisian), sebagai konsekuensi dari korupsi itu rakyatlah yang menaggung beban akibat dari para pelaku koruptor, rakyat menjadi miskin, pengangguran bertambah banyak, biaya ekonomi semakin mahal, yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah miskin, kesenjangan itu semakin terlihat akibat oleh para koruptor. Tidak salah kalau korupsi itu disebut sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), bahkan ia merupakan ancaman terhadap kemanusiaan (crime again himanity) dimanakah hati nurani mereka sesungguhnya?
Terjadinya korupsi itu sendiri tidak bisa lepas dari aspek ”hukum dan politik”, ketika hukum benar-banar ditegakkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dinegara ini, maka akan ada secercah harapan agar korupsi ini bisa dibasmi atau setidaknya dikurangi, ketika berbicara hukum tentunya tidak lepas dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah atau lemabaga yang berwenang untuk membuat Undang-undang seperti DPR. Jadi sejatinya kedua elemen pokok itu sangat menentukan upaya pemberantasan pelaku korupsi di Indonesia yang sudah semakin merajalela, contohnya adalah ketika Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan tujuan untuk mengatasi, menanggulangai dan memberantas korupsi yakni pembentukan lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) merupakan langkah positif yang dilakukan oleh pemerintah dan lemabga DPR sehingga kejahatan korupsi ini kembali ditakuti olek koruptor yang semenjak dekade silam penegakan hukum mengalami krisis.
Upaya ini semestinya kita dukung secara bersama-sama, bukan untuk dibikin isu agar lemabaga ini dibubarkan oleh DPR, kalau isu ini sampai terjadi kita bisa mengukur lembaga DPR bukan lagi sebagai Dewan Perwakilan Rakyat tetapi Dewan penyengsara rakyat. Tentunya kita masih berharap lembaga negara seperti DPR selalu memperjuangkan aspirasi rakyat, mendengarkan hati nurani, menjadi pengkriktik kebijakan pemerintah yang menyeleweng dan merugikan rakayat, serta menjadi teladan bagi politisi yang belum berkiprah secara nasional, mudah-mudahan ke depannya kesemua ini bisa terwujud. Selain Lemabaga DPR selaku pembetuk Undang-Undang yang disetujui oleh presiden, kita masih berharap kepada para penegak hukum seperti Kejaksaan Agung agar benar-benar menjalankan fungsinya secara penuh komitmen dan tanggung jawab, tertangkapnya Tri Urip Gunawan sebagai pelaku korupsi cukuplah menjadi pelajaran berharga bagi jaksa-jaksa lainnya, jaksa yang diharapkan menyapu bersih korupsi malah tertangkap tangan melakukan korupsi, semoga ini menjadi tolak ukur bagi Ketua Kejaksaan Agung sudah sampai sejauh mana kinerja anggotanya.
Kemudian persoalan hakim, kita harapakan hakim yang adil akan tumbuh di negara tercinta ini, hakim yang adil hanya akan tumbuh ketika uang bukan segala-galanya tapi lebih kepada pertangung jawaban terhadap negara dan amanah yang mereka kerjakan nantinya akan dipertanggungjawabkan diakhirat kelak. Sebagai bangsa yang beragama seorang hakim harus memikirkan sampai kesana. Parameter hakim yang adilpun tidak bisa ditentukan oleh kualitasnya, jenjang pendidikan, serta lulus secara uji kalayakan tapi lebih kepada hati nuraninya yang takut kepada Tuhan bukan kepada manusia.
Lembaga Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) yang harus diselenggarakan di daerah juga harus dipertimbangkan secara matang dan bijaksana, walaupun mengingat dibentuknya pengadilan ini disetiap daerah akan menghabiskan anggaran, tapi persoalan ini harus dipikirkan lagi mengingat korupsi sudah mendarah daging dan sulit sekali untuk diberantas di daerah. Lembaga selanjutnya adalah lembaga kepolisioan, sudah sepatutnya lemabga kepolisian sebagai panutan bagi masyarakat bukan sebagai lembaga yang harus ditakuti keberaaannya dalam penegakan hukum di Indonesia ini. Kita sangat bersyukur ditengah-tengah tidak konsisitennya (inkonsistensi) lembaga-lembaga penegak hukum ini justru KPK hadir sebagai para pejunag penegak kedilan walaupan kinerjanya masih terdapat kekurangan-kekurangan.
Selain dilihat dari prespektif hukum, kita bisa juga melihat dari kaca mata politik, sejatinya politik awalnya bermakna mulia. Bila kita baca kembali buku-buku teori tentang perpolitikan, hampir semua menyatakan bahwa politik bertujuan sebagai sarana memperjuangkan kepentingan rakyat atau umat. Para teoritikus dan filosof politik mulai dari plato hingga Al-Mawardi dan Ibnu Taymiah manyatakan bahwa politik adalah jalan untuk mensejahterakan rakyat. Bahkan analisis politik modren seperti Robert Dahl dan Samuel Hutington berulang kali menjelaskan makna dan peran strategis partai politik untuk menunjang dan menciptakan demokrtasi. Karena itu partai politik yang kuat dan mengakar menjadi mutlak untuk menunjang kedewasaan politik semua bangsa demi mewujudkan cita-cita politik yang mensejahterakan rakyat.
Tentu saja teori politik yang mulia itu tidak selalu berbanding lurus dengan kenyataannya, faktanya berkata lain, justru politik dijadikan alat untuk memperoleh kekuasaan, yang dijadikan permasalahan ketika alatnya itu disalah gunakan oleh penguasa untuk tidak mensejahterakan raktat. Para penguasa lebih bersifat pragmatis demi kepentingan semata yang diedentikkan dengan uang dan uang. Political wiil yang kita harapakan kepada pemerintah untuk pelaku korupsi malah belum berjalan secara optinmal, yang amat kita sayangkan adalah demokarasi itu justru ternodai oleh kineja partai politik yang fungsinya tidak lagi memberikan pendidikan politik tetapai hanya sebagai jemabatan kekuasan yang digunakan oleh aktor untuk menduduki kursi di parlemen, partai politik tidak gencar memrangi korupsi malah terlibat melakukan tindak kejahatan korupsi, menurut data Global Corruption Barometer (GCB)-TI Indonesia tahun 2007 kemaren partai politik menempati rangking yang ke 4 (empat) sesudah kepolisian, parlemen dan pengadilan.
Sebagai penutup fungsi politik sebagai sarana dan jalan menuju negara yang demokratis harus kita tegakkan secara bersama-sama, jangan politik dijadikan kambing hitam dan menodai demokrasi di indoneseia, tapi politik lebih dilhat sebagai kebijakan, kebijaksanaan pemerinatah, serta kekuasaan yang mesti ada untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat sesuai dengan asaz Pancasila dan amanah kontitusi UUD 1945, semoga saja pemberantasan korupsi ini bisa kita wujudkan secara bersama-sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar